![]() |
Ilustrasi, Foto : Gana islamika |
Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan akulturasi melalui media dakwah yang telah menjadi warisan budaya leluhur Indonesia, sehingga proses tersebut berjalan begitu harmonis. Wayang pun dijadikan media dakwah oleh Walisongo di Jawa pada zaman kedatangan Islam.
Mereka berupaya untuk mendiplomasikan antara seni wayang yang berbau non-Islam dengan ajaran Islam. Berkat peranan mereka, seni wayang terutama wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam (tarekat) dalam setiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik-epik India Hindu-Budha. Para ulama sufi seakan siap untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu, dan menggunakan pemahaman dan unsur-unsur budaya pra-Islam ke dalam konteks Islam. Tampaknya diplomasi ini memang merupakan suatu bagian dari strategi kebudayaan untuk jangka panjang ke depan.
Bentuk baru yang diciptakan dibuat dari kulit kerbau dengan wajah yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah pun dibuat berbeda dengan wajah manusia. Tak hanya bentuknya saja, ajaran-ajaran dan pesan moral Islam banyak disisipkan dalam cerita dan pemaknaan wayang.
Seperti contoh dalam lakon Bima Suci, dimana Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa. Tuhan yang Maha Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Dengan keyakinannya itu, Bima mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang wajibnya menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Walisongo mengadopsi kisah-kisah dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci Hindu dan memasukkan unsur nilai-nilai Islam dalam plot cerita tersebut. Bahkan, wayang pun dikonstruksi ulang dengan memasukkan teologi Islam sebagai pengganti teologi Hindu. Pada prinsipnya, Walisongo mengadopsi instrument budaya wayang dan memasukkan nilai-nilai Islam untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu serta Budha yang terdapat di dalamnya.
![]() |
Janoko, Foto : Gana islamika |
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “Jimat Kali Maha Usada” yang bernuansa teologi Hindu menjadi bermakna ”azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat bagi kehidupan setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan terma tersebut untuk mempersonifikasi senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo mendesakralisasi formula tersebut sehingga sekedar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan Rasulnya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif Muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan pernyataan seorang Muslim untuk hidup teguh memegangi prinsip-prinsip Islam sehingga meraih kesukesan hidup di dunia dan akhirat. Pemaknaan tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi justru membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.
Posting Komentar